Minggu, 21 Oktober 2012

Saatnya melingkari mimpi (part 1)


(Ku kira tulisan ini sudah tak layak untuk di teruskan, tapi hanya ingin mengingat perjuangan kita ukhti)

Malang, 30 Juli 2012
Selalu ada pelajaran pada setiap kejadian, termasuk hari ini. Semua berawal dari pejalananku dengan seorang teman. Sebut saja Lisya Manisa. 

Hari yang cukup cerah ketika matahari belum berada pada tengah bumi bagian barat Indonesia. Saat itu, kami berada pada antrian panjang loket bank depan kampus. “Tumben ramai, padahal tanggal segini sudah melewati batas pembayaran SPP.” Pikirku sejenak. Tak banyak bicara, kami duduk diam dan menunggu giliran. Aku mulai menulis lembaran yang diberikan satpam yang sedari tadi mondar mandir memberikan intruksi. Hanya mengangguk dan mulai mengisi. Mulai dari nama lengkap, nama ibu kandung, alamat rumah, contact person, dan berbagai pertanyaan lainnya. Setelah lengkap ku isi, langsung saja aku serahkan lembaran tadi pada pak satpam yang dari tadi agak ragu melihatku mengisi lembaran. 

“Mbak, bagian penghasilan ini diisi ya! Ini, ini, dan ini” Kata pak satpam santai padaku. Memerintahkanku untuk mengisi hasil penghasilan tiap bulan. Seingatku, ada 3 pilihan. Kurang dari 5 juta, kurang dari 10 juta, dan lebih dari 10 juta. (mungkin)

Sontak aku kaget. “Saya masih kuliah, pak. Kalau penghasilannya segitu mah, nggak mungkin.” Dahiku berkerut.

“Isi saja yang kurang dari 5 juta, mbak. Mbak dapat beasiswa DIPA kan?” Deg, aku tercengang. DIPA? Beasiswa yang kuharapkan itu? Jadi . . ? 

“Oh, bukan Pak. Saya hanya *****.” Ucapku gemetar. Aku baru sadar, ternyata anggapan yang semula tentang antrian panjang pembayaran SPP ternyata mengambilan beasiswa DIPA. Oh, begitu. Tuhaan . . Ku lirik Lisya yang sedari tadi juga meringis disampingku. Ku teruskan perintah dari satpam tanpa banyak bicara. Tangan Lisya berada pada bahu kiriku sekarang, mencoba menenangkan. 

Setelah semuanya selesai, kami keluar dan –lagi- tak banyak bicara. Ku naiki motor dan mulai melaju.

“Lisya. . Ingat nggak harapan kita dulu?” Tak ingin larut, aku mencoba membuka bicara. Mengingatkan tentang harapan ketika kita sama-sama dapat beasiswa DIPA (Salah satu beasiswa di kampus kami) nantinya. Dan taukah kawan, kita sama-sama tak mendapatkannya. Mungkin kalian bingung tentang hal sepele tentang harapan kami, mengharapkan beasiswa DIPA dan kami sedih tak mendapatkannya. Banyak cerita yang ingin kami tuliskan untuk harapan itu. Panti, adek-adek, pelatihan, menjahit, kain, flannel, clay, dan sejuta barang lainnya yang ingin kami beli untuk bisnis pertama kita. Investasi awal untuk SAMARA. 

Hahh, pelan ku lepas rasa iriku. Astaghfirullah. .

“Kamu tau, Sa. Ada teman yang kemarin cerita padaku bahwa dia menggadaikan laptopnya pada salah satu ustadz untuk biaya SPP semester ini. Dia belum bilang pada orang tuanya karena dia takut terlalu membebani. Sedangkan kita, aku, kamu selalu minta orang tua dan sedikit peduli tentang mereka.”

“Bukan tak peduli, Lisya. Tapi . .” Aku mencoba membela diri.

“Iya aku tau. Tapi ayolah sejenak kita bersabar dan satu hal untuk kejadian pagi ini. Allah belum beri kita uang, Sa”

Allah. . Tubuhku gemetar, telingaku panas, tamparan gaib yang pas menohok pada jantungku. Aku lunglai, malu atas segala penjelasan Lisya. Dalam keadaan itu dia terus bercerita, meyakinkan, dan memberi pertahanan agar ku kembali bangkit. Ya muqollibal quluub . .

Wilis, 1 Agustus 2012

Perjalanan terus berlanjut, siang ini kami akan pergi ke Wilis untuk menjual buku bekas. Pagi-pagi, kami telah mempersiapkan buku bekas untuk kami jual. Teknik pilih memilih dan dengan harapan mulia terus kami tanam dalam hati. Optimis. Salah satu guru yang paling dasar ketika kau ingin mewujudkan mimpi. Walau kau tersandung, tertatih, sampai kakimu teramputasi, itu tak akan mengamputasi mimpimu ketika kau punya optimis. Meski sampai detik ini, aku masih belajar. 

Sebelumnya, jujur. Aku tak pernah menjajakkan buku di wilis, bagaimana ketentuan dan caranya. Aku sama sekali tak paham. Semangat untuk SAMARA, masih terasa disini. 

Hmm, kami mulai menjajakkan buku pada toko pertama. “Kalau barang-barang begini mah, dapatnya murah mbak. Ini belum ada 3 kg.” Kata bapak pertama setelah mencoba menimbang buku yang ku bawa. “Mungkin cuma 15.000”.

Aku tercengang, buku masih bagus begini kok? “Masa’ sih, pak? Nggak boleh lebihan dikit?” Tawarku.

“Kalau nggak mau ya sudah, mbak.” Ucapnya cuek.

Aku permisi untuk pergi ke toko lain. Dan kau tau kawan, semua penjual mengatakan hal yang sama seperti bapak pertama. Aku mulai lunglai, Lisya (lagi2) menepuk pundakku. Meyakinkan. Tak cukup disini perjuanganku, aku mulai menjajakannya ke toko barang rosokan yang berada tak jauh dari Wilis. 

Semangatku habis selama dalam perjalanan kesana, entahlah mungkin jalanan telah menyedot habis ghirohku. Sampai aku lupa, untuk apa lagi tujuanku untuk menjual buku-buku ini. Hingga akhirnya Lisya mengatakan hal ini padaku. Dengarkan. “Bukan nilai nominal yang berharga untuk sebuah perjuangan, Sa. Tapi keberanian, pengorbanan, dan semangatmu-lah yang membuat semuanya menjadi bernilai.” 

Hanya ingin melukiskan sedikit cerita hari ini: Ku serahkan, biar Tuhan sendiri yang menentukan jalan baikNya.

Makasih, Lisya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar