Langit telah gelap, membawa masuk
angin malam, mengundang kicauan jangkrik, di bawah remang rembulan yang masih
tertutup awan kesunyian. Pikiran ini, terbawa terbang sampai jauh melayang pada
pinggiran labuhan yang masih terlihat gelap.
Obor telah di tanganku, dengan
kobaran dahsyat yang masih menyala. Mencari tempat dimana inginku merebahkan
diri barang sejenak. Sampai akhirnya, ku temukan jawaban pada semak belukar
yang menyimpan sedikit cahaya kunang-kunang. Terdapat kertas yang disimpan rapi
di tengah-tengahnya. Aku mulai membukanya, perlahan.
“Jika engkau merasa bahwa
segala yang di sekitarmu gelap dan pekat, tidakkah dirimu curiga bahwa
engkaulah yang dikirim oleh Allah untuk menjadi cahaya bagi mereka. Berhentilah
mengeluhkan kegelapan itu, sebab sinarmulah yang sedang mereka nantikan, maka
berkilaulah”
Sedikit diskusi malam ini,
membuat inginku menuliskan sedikit cerita kepadamu.
Cerita ini, tak jauh dari
pendakwah yang menjadi inspirasi kita dari zaman ke zaman. Yang namanya tetap
di agungkan oleh penghuni langit dan bumi. Rasulullah SAW.
“Selamat datang duhai orang
yang karenanya aku di tegur oleh Rabbku!”
Sang Nabi selalu tersenyum ketika
melafalkan kalimat ini. Dan orang terbuka itu juga tersipu. Kearah majelis
Nabawi itu, ‘Abdullah ibn Ummi Maktum tertatih mendekat. Teguran Allah pada
beliau itu terjadi sudah lama sekali. Tetapi Sang Nabi takkan pernah
melupakannya. Beliau pernah bermasam muka, merasa enggan, dan mengalihkan wajah
dari ‘Abdullah ibn Ummi Maktum. Tak sepenuhnya abai sebenarnya. Hanya saja
waktu itu, Rasulullah sedang berada di hadapan para pembesar Quraisy,
membacakan ayat-ayat Allah pada mereka.
Saat itu, teramat tinggi hasrat
sang Nabi agar para pemuka itu mau menerima da’wah. Karena mereka adalah
pemimpin kaumnya, piker beliau, insyaAllah akan banyak manusia yang mengikuti
langkah mereka. Maka kedatangan ‘Abdullah yang buta, yang lemah, yang pinggiran
dan tanpa kuasa itu terasa sebuah usikan kecil bagi ambisi beliau. Kehadirannya
seolah mencitrakan bahwa pengikut sang Nabi adalah orang-orang yang dhuafa,
fakir, dan orang-orang yang terbelakang. Itu akan membuat para pemuka Quraisy
tak nyaman dan makin enggan. Jadi beliau bermasam muka dan berpaling.
Tak ada yang salah dengan hasrat
kuat Sang Nabi agar para pembesar Quraisy itu segera beriman. Allah memang
mengamanahi beliau menyeru mereka pada hidayah. Dan secara pribadi, Sang Nabi
sama sekali tak punya rasa jijik, benci, ataupun risi pada ‘Abdullah. Beliau
hanya merasa kemunculan ‘Abdullah terjadi pada saat yang tak tepat.
Gelombang keinsyafan dalam hati
Sang Nabi lalu bergulung-gulung. Bahwa da’wah ini milik Allah. Dan bahwa
hidayah itu juga milikNya. Bahwa tugasnya berikhtiar semata. Bahwa beliau
takkan di persalahkan ataupun menanggung dosa jikapun para pemuka yang merasa
kaya itu tak hendak menyucikan jiwa. Hal ini tertulis jelas pada surah
Al-Anfal: 63.
“… Dan Allah yang
mempersatukan hati para hamba beriman.
Jikapun kau nafkahkan perbendaraan bumi seluruhnya untuk mengikat hati mereka,
takkan bisa kau himpunkan hati mereka. Tetapi Allah-lah yang telah
menyatupadukan mereka …”.
Lalu saat kita menemukan hal-hal
yang tak berkenan di hati dalam bayangan itu, kita tahu bahwa yang harus kita
benahi bukanlah sang bayang-bayang. Kita tahu bahwa yang harus dibenahi adalah
diri kita yang sedang mengaca. Yang harus diperbaiki bukan sesama yang kita
temukan celanya, melainkan pribadi kita yang sedang bercermin padanya.
Tak lama setelahnya pendar obor
yang masih menyala itu, ku turunkan di permukaan. Agar menyala untuk seluruhnya,
agar bercahaya untuk sesama. Tetaplah bercahaya!
Sumber inspirasi: Salim A.
Fillah, Dalam Dekapan Ukhuwah dan kepada Para Penyeru kebenaran da’wah, Immawan
dan Immawati IMM Pelopor UIN Maliki Malang.
Do’aku, semoga kelelahan dan
keistiqomahan kita menjadi investasi amal kita di akhirat kelak. Karena barang
siapa yang menolong agama Allah, maka di yaumil akhir nanti Allah akan menolong
dirinya. Bismillah, Amiiin.