Sabtu, 24 November 2012

Menemukanmu . .


Dulu, pernah membuat satu keinginan untuk pergi ke tempat tertinggi yang menampakkan wajah Malang secara keseluruhan. 

Kemarin seusai perkuliahan di MT, kita pergi ke bukit itu. Yang jalannya belum pernah ku lalui, tapi sempat memunculkan kenangan lama yang telah benar-benar mati.

Hanya bisa diam dan menerima hembusan angin yang mengibarkan ujung kerudung yang tergerai cukup panjang. Hanya bisa diam dan menerima kemana perginya sepeda melaju kencang menuruti kehendak tuannya. Dan sekali lagi, hanya bisa diam dan menerima bahwa tak selamanya mimpi akan berjalan dengan sempurna. 

Yap, akhirnya ku menemukanmu meski dengan cara yang berbeda.
“B U K I T – T I D A R”








Minggu, 18 November 2012

Jalan Cinta Para Pejuang (Terinsirasi oleh buku Salim A. Fillah)


Aku terdiam. Membiarkan sore menceritakan keadaanku, untuk pilihan cinta yang belum genap seperempat tahun aku semai.

Berawal dari pertemuanku dengannya disuatu siang. Ya, kuakui saja. Aku memang seseorang yang mudah menggampangkan suatu masalah, sampai aku terlena dengan janji setiap pekan yang ku buat dengannya sebagai bukti kasih kami. Selalu ada yang kudapat setiap kali aku bertemu dengannya, meski waktu itu, kami hanya bertemu 2 jam saja. Mendengarkan setiap jengkal ceritanya, selalu membuat semangat ini kembali bangkit. Entahlah, cinta memang selalu seperti ini.

Teringat, awal dimana dia mengajakku untuk memasuki dunianya. Di suatu malam, dia mencoba meyakinkan dengan kata-katanya yang selalu mendamaikan. Dengan senyuman yang terus ku rindukan. Saat itu, tentu saja aku membantah dengan alasan aku takut untuk tidak adil membagi cinta.
Tapi beliau terus meyakinkan, teringat jelas ucapan beliau, “Apa yang meragukan anti, dek? Belum pernah ada hamba Allah yang beriman, Allah buat mendua di jalan cinta. Allah sendiri yang akan menjaganya. Bukan adek.” Indahnya Ukhuwah.

Malam itu, tentu saja setelah meminta izin padaNya, aku putuskan bahwa aku sanggup melangkah dengannya. Berjalan beriringan di Jalan Cinta.

Di lain sisi, aku merasa menjadi penghianat yang tega menusuk cintaku yang lain. Aku tau persis bagaimana mereka berdua mengenal. Mereka berbeda dan tentu saja aku masuk diantara keduanya. Tapi aku meyakinkan diriku sendiri, bahwa aku akan membagi cinta ini pada cinta pertamaku. Seperti kata Salim A. Fillah, mengambil cinta dari langit dan menebarkannya di bumi. Ya, aku ingin membagi cinta ini kepada kalian.

Ada yang mengatakan padaku bahwa saat ini, cinta bukan pilihan, karena kau telah masuk dan memilih keduanya. Tugasmu hanya berada di sampingnya maka hidupi dan kasihi mereka dengan cinta yang anti punya.

Ya. Aku telah memilih Jalan Cintaku untuk tetap bersama mereka berdua. Meski sampai sekarang, aku belum tau, apa yang akan aku berikan untuk cinta keduaku. Cintaku bukan menerima, tapi cintaku adalah untuk memberi. Kata-kata itu selalu ku camkan dalam hati.

Tapi sekarang, aku merasakan sedikit perbedaan. Ada rahasia. Bukankah cinta itu saling terbuka? Di lain sisi, aku meredamnya. Cinta adalah kepercayaan. Ahh. .

ALLAH, memang butuh air sebanyak2nya untuk jiwa yang sudah menguning. Aku mencintai keduanya, Aku belajar sabar untuk menanti persetujuan, aku belajar menata hati untuk sebuah kerahasiaan, dan sungguh. Aku mencintai keduanya.

Setidaknya untuk saat ini, aku butuh sedikit waktu. Ya, untuk melegakan diri. Bukankah tumbuhan itu tak langsung hijau dan lebat. Kini, aku berusaha untuk memupuk diriku sendiri. Dengan ghiroh yang masih tersisa. Cepat atau lambat, ia akan menghijau, dan ku harap aku bisa membagi buahnya padamu.

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Mengetahui hati-hati ini berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam taat-Mu, telah bersatu dalam dakwah kepadaMu, telah berpadu dalam membela syariatMu. Teguhkanlah Ya Allah ikatannya. Kekalkanlah cinta kasihnya. Tunjukilah jalan-jalannya. Penuhilah hati-hati tersebut dengan cahayaMu yang tidak pernah hilang. Lapangkanlah dada-dada kami dengan limpahan iman kepadaMu dan indahnya bertawakkal kepadaMu. Hidupkanlah hati ini dengan ma’rifat kepadaMu. Matikanlah ia dalam syahid di JalanMu. Engkaulah sebaik-baik pelindung dan penolong.” (Do’a Robithoh)

*Tulisan ini saya dedikasikan untuk seseorang yang selalu menunggu di MU dan MT.

Kamis, 15 November 2012

Taraaa. .





Taaarraaa. . 


Masih bersama saya Lutfinsa Nuriyatus Izza dalam acara "Tralala Trilili". .

 
 Hanya ingin berbagi sedikit kegembiraan padamu . . 


Yap, sepulang dari PusKot. Hujan2an. Dan taraaa. . Inilah yang terjadi. Narsis2an di SuHat. Yaa. .


Latihan Retorika laaah. Hahahaha

 
*Sepulang dari OR FLP Malang bersama PERJAKA (Perempuan Bersenjata Pena dan Kata2)


Selasa, 06 November 2012

Mencari Hati yang Hilang



Langit telah gelap, membawa masuk angin malam, mengundang kicauan jangkrik, di bawah remang rembulan yang masih tertutup awan kesunyian. Pikiran ini, terbawa terbang sampai jauh melayang pada pinggiran labuhan yang masih terlihat gelap.

Obor telah di tanganku, dengan kobaran dahsyat yang masih menyala. Mencari tempat dimana inginku merebahkan diri barang sejenak. Sampai akhirnya, ku temukan jawaban pada semak belukar yang menyimpan sedikit cahaya kunang-kunang. Terdapat kertas yang disimpan rapi di tengah-tengahnya. Aku mulai membukanya, perlahan. 

“Jika engkau merasa bahwa segala yang di sekitarmu gelap dan pekat, tidakkah dirimu curiga bahwa engkaulah yang dikirim oleh Allah untuk menjadi cahaya bagi mereka. Berhentilah mengeluhkan kegelapan itu, sebab sinarmulah yang sedang mereka nantikan, maka berkilaulah”

Sedikit diskusi malam ini, membuat inginku menuliskan sedikit cerita kepadamu.

Cerita ini, tak jauh dari pendakwah yang menjadi inspirasi kita dari zaman ke zaman. Yang namanya tetap di agungkan oleh penghuni langit dan bumi. Rasulullah SAW. 

“Selamat datang duhai orang yang karenanya aku di tegur oleh Rabbku!”

Sang Nabi selalu tersenyum ketika melafalkan kalimat ini. Dan orang terbuka itu juga tersipu. Kearah majelis Nabawi itu, ‘Abdullah ibn Ummi Maktum tertatih mendekat. Teguran Allah pada beliau itu terjadi sudah lama sekali. Tetapi Sang Nabi takkan pernah melupakannya. Beliau pernah bermasam muka, merasa enggan, dan mengalihkan wajah dari ‘Abdullah ibn Ummi Maktum. Tak sepenuhnya abai sebenarnya. Hanya saja waktu itu, Rasulullah sedang berada di hadapan para pembesar Quraisy, membacakan ayat-ayat Allah pada mereka. 

Saat itu, teramat tinggi hasrat sang Nabi agar para pemuka itu mau menerima da’wah. Karena mereka adalah pemimpin kaumnya, piker beliau, insyaAllah akan banyak manusia yang mengikuti langkah mereka. Maka kedatangan ‘Abdullah yang buta, yang lemah, yang pinggiran dan tanpa kuasa itu terasa sebuah usikan kecil bagi ambisi beliau. Kehadirannya seolah mencitrakan bahwa pengikut sang Nabi adalah orang-orang yang dhuafa, fakir, dan orang-orang yang terbelakang. Itu akan membuat para pemuka Quraisy tak nyaman dan makin enggan. Jadi beliau bermasam muka dan berpaling. 

Tak ada yang salah dengan hasrat kuat Sang Nabi agar para pembesar Quraisy itu segera beriman. Allah memang mengamanahi beliau menyeru mereka pada hidayah. Dan secara pribadi, Sang Nabi sama sekali tak punya rasa jijik, benci, ataupun risi pada ‘Abdullah. Beliau hanya merasa kemunculan ‘Abdullah terjadi pada saat yang tak tepat.

Gelombang keinsyafan dalam hati Sang Nabi lalu bergulung-gulung. Bahwa da’wah ini milik Allah. Dan bahwa hidayah itu juga milikNya. Bahwa tugasnya berikhtiar semata. Bahwa beliau takkan di persalahkan ataupun menanggung dosa jikapun para pemuka yang merasa kaya itu tak hendak menyucikan jiwa. Hal ini tertulis jelas pada surah Al-Anfal: 63.

“… Dan Allah yang mempersatukan hati para  hamba beriman. Jikapun kau nafkahkan perbendaraan bumi seluruhnya untuk mengikat hati mereka, takkan bisa kau himpunkan hati mereka. Tetapi Allah-lah yang telah menyatupadukan mereka …”.

Lalu saat kita menemukan hal-hal yang tak berkenan di hati dalam bayangan itu, kita tahu bahwa yang harus kita benahi bukanlah sang bayang-bayang. Kita tahu bahwa yang harus dibenahi adalah diri kita yang sedang mengaca. Yang harus diperbaiki bukan sesama yang kita temukan celanya, melainkan pribadi kita yang sedang bercermin padanya.

Tak lama setelahnya pendar obor yang masih menyala itu, ku turunkan di permukaan. Agar menyala untuk seluruhnya, agar bercahaya untuk sesama. Tetaplah bercahaya!


Sumber inspirasi: Salim A. Fillah, Dalam Dekapan Ukhuwah dan kepada Para Penyeru kebenaran da’wah, Immawan dan Immawati IMM Pelopor UIN Maliki Malang. 

Do’aku, semoga kelelahan dan keistiqomahan kita menjadi investasi amal kita di akhirat kelak. Karena barang siapa yang menolong agama Allah, maka di yaumil akhir nanti Allah akan menolong dirinya. Bismillah, Amiiin.