Senin, 31 Desember 2012

Gerimis


Gerimis itu bagaimana bentuknya? Luka itu bagaimana rasanya? 

Hanya bisa diam dan menyelami setiap kata dalam lembar. Dalam sebuah video bergambar yang menayangkan masa lalu. Sampai pada saat dimana gerimis berpindah ke pelupuk mataku. Hingga aku mengerti, bahwa gerimis itu berair dan rasanya menyiksa. Bukan kenangan, tapi sesal.

Rabu, 26 Desember 2012

Mencintaimu dengan nada berbeda


Terpaut lama wajahku di depan kotak kaca tak bersuara. Hanya suara nasyid dan lagu milik Sammy berjudul “dia” yang sampai saat ini terdengar. Entah apa yang ingin tertulis. Hanya saja, aku ingin segera memenuhi satu tulisan ke blog baruku. Hahaha, alasan klasik

Sebetulnya, banyak yang ingin ku tulis. Saking banyak, sampai meluap, sampai lupa setiap kata yang mau ku tulisan. Hhh, hujan. Selalu ada kisah di setiap rintiknya. Lebih tepatnya, ia pembawa bahagia.
Sudah lama tak menyaksikan hujan senikmat ini. Berada di sebuah kedai kopi belakang Taman Makam Pahlawan (TMP) Malang yang posisisnya tak jauh dari Mall MATOS. Dengan hanya di temani satu gelas kopi susu hangat dan satu novel berjudul “Diorama” dalam genggaman. Seketika bau hujan pun terasa, mencoba menikmati. Meneruskan bacaan yang mulai membuatku melayang jauh. Ke suatu Negeri yang bernama imajinasi. Diorama sepasang Al-Banna, kisah seorang ikhwan dan akhwat yang kepribadiannya sangat bertolak belakang, namun mereka saling mengisi. Tentunya dengan cinta yang mereka miliki. Fantastik.

Tak terasa lama juga aku berada disini, banyak pasang mata yang melirikku sinis. Atau menggoda? Hm.. insting wanitaku menyala. Panik.

Ah… seandainya kau disini” Bisikku dalam hati, untuk.. .. ? Untuk siapa aku tak tau.

Kalau saja tak mengingat tubuhku masih lemah, mungkin aku sudah tancap gas pulang ke rumah dan tidur pulas di bawah selimut. Tapi aku mulai sadar, tak ingin lagi hujan membuatku begini. Bukan, bukan salah hujan. Dia terlalu lembut untuk disalahkan. Lebih tepatnya, aku sendiri yang banyak tingkah. Memilih hujan-hujanan sepulang mengantar saudara pulang ke ‘singgasananya’. 

“Yan, kau ingin tahu jawabanku? Demi Dakwah, nikahi dia!” Deg. Sebuah kata yang seakan menohokku dari belakang. Sebuah kata, dimana aku mendapatkannya dibuku yang sekarang dalam genggaman. Diorama. 

“Demi dakwah? Menikah? Yang benar saja. Semudah itu. Bukan, ini hanya fiksi.” Kututup “Diorama” yang mulai ‘menyebalkan’ untuk caraku sendiri. 

Pikiranku mulai berkelebat tak karuan. Teringat kembali wajah seorang lelaki menari-nari dalam memori. Lelaki berkacamata dengan tangkai berwarna putih. Mengalun lembut meminta jawaban. Entahlah, jawaban apa? Aku saja tak tahu apa yang ingin aku jawab dari pertanyaan konyol yang selalu dia ajukan beberapa waktu lalu. Sampai sekarang, aku tak melupakannya. Lebih tepatnya, aku tak ingin melupakan. 

Bagaimana bisa dia ‘memintaku’, sedangkan saat ini kita masih sama-sama duduk di tingkat 3? Artinya, masih panjang waktuku untuk meneruskan perkuliahan. Apalagi, zaman sudah menuntut untuk meneruskan ke strata yang lebih tinggi. Ahh, kepalaku mulai pening. 

Sebetulnya, tak ingin lebih lama menggantungkan perasaan seperti ini. Toh, jika dibilang cinta, aku biasa saja. Cakep? Tidak juga. Tidak seperti Mr. Akechi maksudnya (aduh kebawa novel lagi), berarti ia lelaki yang cukup ganteng untuk ukuran wanita yang waras. Hanya saja, cara dia beristiqomah atas apa yang dia yakini, itu yang membuatku salut. Tapi mau gimana lagi, memangnya nikah cuma untuk menghasilkan anak? Enak saja, mau di kasih apa dia nanti kalau ibu bapaknya masih belajar. Bukan materi sebetulnya, tapi jauh lebih dari itu. Pendidikan. 

Aku mulai berfikir, bagaimana seharusnya. Aku belum berani berbicara pada siapapun, termasuk orang tuaku. Tapi tidak dengan Akmal, sebagian besar keluarganya sudah tau. Ajaib. Begitulah enaknya kalau mempunyai latar belakang keluarga dengan agama yang bagus, menurut mereka menyegerakan menikah adalah hal yang cukup ahsan. Atau lebih tepatnya di anjurkan untuk orang seukuran Akmal. Ya, meski dia satu tingkat denganku, tapi umurnya terpaut 3 tahun di atasku. Ada alasan tersendiri mengapa Akmal begitu. Mungkin semacam pengabdian. Atau apalah itu. Tapi aku? Hanya menyimpan semuanya sendirian. Ya Allah, aku menggantungkan semua rasa ini padaMu. . 

Hingga hujan berganti rintik dan diselingi oleh kicauan burung pipit yang mulai datang perlahan. Tiba-tiba, handphone berbunyi. 

“Ada waktu?” Tanya seseorang di seberang yang sebelumnya dengan salam. 

“Untuk apa?” Jawabku sekenanya.

“Untuk kelanjutan urusan kita.”

Deg. Inilah saatnya aku bicara. “Oke.”

“Waktu dan tempat, aku kabari selanjutnya. Wassalamu’alaikum.” Tuutts tuutts. .

Dan semuanya kembali hening.

Sabtu, 01 Desember 2012

Untukmu Kader Dakwah


Dakwah ini bukanlah mencari harta, Karena kita bukan pekerja duniawi, Dakwah ini bukan hal yang mudah, Pasti ada riak penolakan, Nyanyian kebencian pun terdengar, Sindiran kan datang silih berganti.

Dan, kamu adalah pembelajar sejati, Yang menghimpun kesabaran, Yang bersenjatakan keberanian, Menyampaikan yang Haq

Insya Allah,Kemuliaan ini akan tumbuh, Bersamaan, Dengan deru-deru perjuangan. .

(Amanah tetap berjalan, mengiringi langkah-langkah para pejuang CINTA. Kata Salim A. Fillah, perlu tanda "pause" untuk merefresh segala aktifitas pekan ini. Seperti pisau yang tak lupa untuk di asah sebelum dia terus di gunakan. Selamat istirahat para pejuang CINTA. Selamat menikmati malam bersama keluarga, atau kau yang tetap bersemangat memikirkan perjuangan ini.)

Untuk kedua cintaku yang tak penah habis semangatnya :)