Selasa, 23 Oktober 2012

tigabulan

Berawal dari hari ini, mungkin semua akan menjadi tak sama. Sebuah ikatan akan terjalin, dan hal baru akan terjadi demi pencarian ketenangan hati. Mantapkan dan azzamkan bahwa kedua jalan itu akan terlewati bersama, bismillah. 
Wallahu yubarik fik, ukhti . . (Rizza Nasir)

Minggu, 21 Oktober 2012

Saatnya melingkari mimpi (part 2)


 
Happy Milad ^_-
LUTFINSA NURIYATUS IZZA
10 Oktober 2012

“Bintang itu ternyata kejora yang tiap pagi berada di ufuk sudut hati, yang tiap sore selalu melambai di senja waktu”

Kadang aku kesal dan ingin tak peduli dengan semua kesibukanmu itu, aku ingin waktu. Sebentar saja, untuk berbagi denganmu seperti dulu. Walau terkadang aku pun selalu tak punya banyak kesempatan untuk sekedar bertanya kabarmu? Walau hati yang sering terbelenggu dengan ragu.

Namun, kini aku bangga padamu. Iblis bernama “GALAU” itu sirna seketika di telan kejora yang tiap hari menyapa hidupmu. Kau tau? Kau benar-benar berusaha menghidupkan bintangmu kembali. Aku yakin ia tak akan redup lagi. Rembulan itu telah usai, dan berganti indah kejora. Selamanya. . 

MET MILAD yaa Ukhti, semoga keberkahan dan kebahagiaan selalu Allah berikan dalam sisa usiamu yang akan kau pertanggungjawabkan kelak di hadapanNya. Tak ada yang sia-sia ketika seorang hamba berjalan atas dasar syiarNya, walau ia harus meneteskan peluh berapapun banyaknya, walau ia harus tertatih menahan sakit untuk istiqomah di jalanNya. Bukankah Dia akan membalas semua? Dengan indah iman dan ikhsan dalam cantiknya hati kita.
LISYA MANISA.

19 Oktober 2012
(Lisya, kau tahu. Kadang aku juga lelah dengan semua ini, kadang aku tak bisa membagi kapan aku harus bejalan dengan kegiatanku, keluarga, atau sekalipun denganmu. Aku ingin istirahat. Tapi, kau tak sendiri bukan. Aku sedang menjemput bintang itu kembali. Entah, sampai kapan aku harus menunggu.)

Beberapa waktu lalu, kau mengajakku untuk ikut lomba PKM (Penelitian Kompetitif Mahasiswa). Semrawut, aku mencoba mengerjakan dan menyusun setiap kata dalam lembar. Dengan hati-hati. Sampai akhirnya, waktu untuk menunggu pengumuman telah usai. Datang sebuah SMS darimu. “Waktunya melingkari mimpi. Selamat ya, Sa. Kita berhasil untuk lomba PKM, dan harapan kita untuk ke MI Miftahul Huda sebentar lagi akan terwujud”.

Subhanallah, aku yang tadinya ngantuk-ngantuk mendengarkan penjelasan salah satu dosen. Tercengang, sontak aku memeluk seorang teman yang berada di sebelahku. Bahagia bercampur haru. Tak lama, ku turuni tangga gedung MT. Terlihat Lisya sedang memegang HP dan mulai melihatku yang girang menuruni tangga. Ya. Nama kita benar tertulis disana. Allah, terimakasih. Jawaban itu, telah Kau tunjukkan pada saat yang tepat. 

Ku pandangi wajah Lisya yang masih tak percaya melihat tulisan di belakang dinding kaca madding. Lisya, maafkan aku. Kadang aku tak peduli untuk sekedar bertanya kabarmu. Tapi kini, terimakasih. Kau telah mengajak untuk melingkari satu mimpi yang telah terencana.
Perjuangan kita belum selesai!

Saatnya melingkari mimpi (part 1)


(Ku kira tulisan ini sudah tak layak untuk di teruskan, tapi hanya ingin mengingat perjuangan kita ukhti)

Malang, 30 Juli 2012
Selalu ada pelajaran pada setiap kejadian, termasuk hari ini. Semua berawal dari pejalananku dengan seorang teman. Sebut saja Lisya Manisa. 

Hari yang cukup cerah ketika matahari belum berada pada tengah bumi bagian barat Indonesia. Saat itu, kami berada pada antrian panjang loket bank depan kampus. “Tumben ramai, padahal tanggal segini sudah melewati batas pembayaran SPP.” Pikirku sejenak. Tak banyak bicara, kami duduk diam dan menunggu giliran. Aku mulai menulis lembaran yang diberikan satpam yang sedari tadi mondar mandir memberikan intruksi. Hanya mengangguk dan mulai mengisi. Mulai dari nama lengkap, nama ibu kandung, alamat rumah, contact person, dan berbagai pertanyaan lainnya. Setelah lengkap ku isi, langsung saja aku serahkan lembaran tadi pada pak satpam yang dari tadi agak ragu melihatku mengisi lembaran. 

“Mbak, bagian penghasilan ini diisi ya! Ini, ini, dan ini” Kata pak satpam santai padaku. Memerintahkanku untuk mengisi hasil penghasilan tiap bulan. Seingatku, ada 3 pilihan. Kurang dari 5 juta, kurang dari 10 juta, dan lebih dari 10 juta. (mungkin)

Sontak aku kaget. “Saya masih kuliah, pak. Kalau penghasilannya segitu mah, nggak mungkin.” Dahiku berkerut.

“Isi saja yang kurang dari 5 juta, mbak. Mbak dapat beasiswa DIPA kan?” Deg, aku tercengang. DIPA? Beasiswa yang kuharapkan itu? Jadi . . ? 

“Oh, bukan Pak. Saya hanya *****.” Ucapku gemetar. Aku baru sadar, ternyata anggapan yang semula tentang antrian panjang pembayaran SPP ternyata mengambilan beasiswa DIPA. Oh, begitu. Tuhaan . . Ku lirik Lisya yang sedari tadi juga meringis disampingku. Ku teruskan perintah dari satpam tanpa banyak bicara. Tangan Lisya berada pada bahu kiriku sekarang, mencoba menenangkan. 

Setelah semuanya selesai, kami keluar dan –lagi- tak banyak bicara. Ku naiki motor dan mulai melaju.

“Lisya. . Ingat nggak harapan kita dulu?” Tak ingin larut, aku mencoba membuka bicara. Mengingatkan tentang harapan ketika kita sama-sama dapat beasiswa DIPA (Salah satu beasiswa di kampus kami) nantinya. Dan taukah kawan, kita sama-sama tak mendapatkannya. Mungkin kalian bingung tentang hal sepele tentang harapan kami, mengharapkan beasiswa DIPA dan kami sedih tak mendapatkannya. Banyak cerita yang ingin kami tuliskan untuk harapan itu. Panti, adek-adek, pelatihan, menjahit, kain, flannel, clay, dan sejuta barang lainnya yang ingin kami beli untuk bisnis pertama kita. Investasi awal untuk SAMARA. 

Hahh, pelan ku lepas rasa iriku. Astaghfirullah. .

“Kamu tau, Sa. Ada teman yang kemarin cerita padaku bahwa dia menggadaikan laptopnya pada salah satu ustadz untuk biaya SPP semester ini. Dia belum bilang pada orang tuanya karena dia takut terlalu membebani. Sedangkan kita, aku, kamu selalu minta orang tua dan sedikit peduli tentang mereka.”

“Bukan tak peduli, Lisya. Tapi . .” Aku mencoba membela diri.

“Iya aku tau. Tapi ayolah sejenak kita bersabar dan satu hal untuk kejadian pagi ini. Allah belum beri kita uang, Sa”

Allah. . Tubuhku gemetar, telingaku panas, tamparan gaib yang pas menohok pada jantungku. Aku lunglai, malu atas segala penjelasan Lisya. Dalam keadaan itu dia terus bercerita, meyakinkan, dan memberi pertahanan agar ku kembali bangkit. Ya muqollibal quluub . .

Wilis, 1 Agustus 2012

Perjalanan terus berlanjut, siang ini kami akan pergi ke Wilis untuk menjual buku bekas. Pagi-pagi, kami telah mempersiapkan buku bekas untuk kami jual. Teknik pilih memilih dan dengan harapan mulia terus kami tanam dalam hati. Optimis. Salah satu guru yang paling dasar ketika kau ingin mewujudkan mimpi. Walau kau tersandung, tertatih, sampai kakimu teramputasi, itu tak akan mengamputasi mimpimu ketika kau punya optimis. Meski sampai detik ini, aku masih belajar. 

Sebelumnya, jujur. Aku tak pernah menjajakkan buku di wilis, bagaimana ketentuan dan caranya. Aku sama sekali tak paham. Semangat untuk SAMARA, masih terasa disini. 

Hmm, kami mulai menjajakkan buku pada toko pertama. “Kalau barang-barang begini mah, dapatnya murah mbak. Ini belum ada 3 kg.” Kata bapak pertama setelah mencoba menimbang buku yang ku bawa. “Mungkin cuma 15.000”.

Aku tercengang, buku masih bagus begini kok? “Masa’ sih, pak? Nggak boleh lebihan dikit?” Tawarku.

“Kalau nggak mau ya sudah, mbak.” Ucapnya cuek.

Aku permisi untuk pergi ke toko lain. Dan kau tau kawan, semua penjual mengatakan hal yang sama seperti bapak pertama. Aku mulai lunglai, Lisya (lagi2) menepuk pundakku. Meyakinkan. Tak cukup disini perjuanganku, aku mulai menjajakannya ke toko barang rosokan yang berada tak jauh dari Wilis. 

Semangatku habis selama dalam perjalanan kesana, entahlah mungkin jalanan telah menyedot habis ghirohku. Sampai aku lupa, untuk apa lagi tujuanku untuk menjual buku-buku ini. Hingga akhirnya Lisya mengatakan hal ini padaku. Dengarkan. “Bukan nilai nominal yang berharga untuk sebuah perjuangan, Sa. Tapi keberanian, pengorbanan, dan semangatmu-lah yang membuat semuanya menjadi bernilai.” 

Hanya ingin melukiskan sedikit cerita hari ini: Ku serahkan, biar Tuhan sendiri yang menentukan jalan baikNya.

Makasih, Lisya.

Kamis, 11 Oktober 2012

Perahu Kertas 2

Terkadang, aku ingin mengajakmu untuk sejenak refreshing ke 21.


Soundtrack Perahu Kertas :
Perahu kertas mengingatkanku
betapa ajaibnya hidup ini
Mencari-cari tambatan hati,
kau sahabatku sendiri
Hidupkan lagi mimpi-mimpi
cinta-cinta… cita-cita …cinta-cinta…
yang lama ku pendam sendiri
berdua ku bisa percaya
(Mendayung, Berlayar, Mengarungi, bersamamu, langit!)