Selasa, 06 November 2012

Mencari Hati yang Hilang



Langit telah gelap, membawa masuk angin malam, mengundang kicauan jangkrik, di bawah remang rembulan yang masih tertutup awan kesunyian. Pikiran ini, terbawa terbang sampai jauh melayang pada pinggiran labuhan yang masih terlihat gelap.

Obor telah di tanganku, dengan kobaran dahsyat yang masih menyala. Mencari tempat dimana inginku merebahkan diri barang sejenak. Sampai akhirnya, ku temukan jawaban pada semak belukar yang menyimpan sedikit cahaya kunang-kunang. Terdapat kertas yang disimpan rapi di tengah-tengahnya. Aku mulai membukanya, perlahan. 

“Jika engkau merasa bahwa segala yang di sekitarmu gelap dan pekat, tidakkah dirimu curiga bahwa engkaulah yang dikirim oleh Allah untuk menjadi cahaya bagi mereka. Berhentilah mengeluhkan kegelapan itu, sebab sinarmulah yang sedang mereka nantikan, maka berkilaulah”

Sedikit diskusi malam ini, membuat inginku menuliskan sedikit cerita kepadamu.

Cerita ini, tak jauh dari pendakwah yang menjadi inspirasi kita dari zaman ke zaman. Yang namanya tetap di agungkan oleh penghuni langit dan bumi. Rasulullah SAW. 

“Selamat datang duhai orang yang karenanya aku di tegur oleh Rabbku!”

Sang Nabi selalu tersenyum ketika melafalkan kalimat ini. Dan orang terbuka itu juga tersipu. Kearah majelis Nabawi itu, ‘Abdullah ibn Ummi Maktum tertatih mendekat. Teguran Allah pada beliau itu terjadi sudah lama sekali. Tetapi Sang Nabi takkan pernah melupakannya. Beliau pernah bermasam muka, merasa enggan, dan mengalihkan wajah dari ‘Abdullah ibn Ummi Maktum. Tak sepenuhnya abai sebenarnya. Hanya saja waktu itu, Rasulullah sedang berada di hadapan para pembesar Quraisy, membacakan ayat-ayat Allah pada mereka. 

Saat itu, teramat tinggi hasrat sang Nabi agar para pemuka itu mau menerima da’wah. Karena mereka adalah pemimpin kaumnya, piker beliau, insyaAllah akan banyak manusia yang mengikuti langkah mereka. Maka kedatangan ‘Abdullah yang buta, yang lemah, yang pinggiran dan tanpa kuasa itu terasa sebuah usikan kecil bagi ambisi beliau. Kehadirannya seolah mencitrakan bahwa pengikut sang Nabi adalah orang-orang yang dhuafa, fakir, dan orang-orang yang terbelakang. Itu akan membuat para pemuka Quraisy tak nyaman dan makin enggan. Jadi beliau bermasam muka dan berpaling. 

Tak ada yang salah dengan hasrat kuat Sang Nabi agar para pembesar Quraisy itu segera beriman. Allah memang mengamanahi beliau menyeru mereka pada hidayah. Dan secara pribadi, Sang Nabi sama sekali tak punya rasa jijik, benci, ataupun risi pada ‘Abdullah. Beliau hanya merasa kemunculan ‘Abdullah terjadi pada saat yang tak tepat.

Gelombang keinsyafan dalam hati Sang Nabi lalu bergulung-gulung. Bahwa da’wah ini milik Allah. Dan bahwa hidayah itu juga milikNya. Bahwa tugasnya berikhtiar semata. Bahwa beliau takkan di persalahkan ataupun menanggung dosa jikapun para pemuka yang merasa kaya itu tak hendak menyucikan jiwa. Hal ini tertulis jelas pada surah Al-Anfal: 63.

“… Dan Allah yang mempersatukan hati para  hamba beriman. Jikapun kau nafkahkan perbendaraan bumi seluruhnya untuk mengikat hati mereka, takkan bisa kau himpunkan hati mereka. Tetapi Allah-lah yang telah menyatupadukan mereka …”.

Lalu saat kita menemukan hal-hal yang tak berkenan di hati dalam bayangan itu, kita tahu bahwa yang harus kita benahi bukanlah sang bayang-bayang. Kita tahu bahwa yang harus dibenahi adalah diri kita yang sedang mengaca. Yang harus diperbaiki bukan sesama yang kita temukan celanya, melainkan pribadi kita yang sedang bercermin padanya.

Tak lama setelahnya pendar obor yang masih menyala itu, ku turunkan di permukaan. Agar menyala untuk seluruhnya, agar bercahaya untuk sesama. Tetaplah bercahaya!


Sumber inspirasi: Salim A. Fillah, Dalam Dekapan Ukhuwah dan kepada Para Penyeru kebenaran da’wah, Immawan dan Immawati IMM Pelopor UIN Maliki Malang. 

Do’aku, semoga kelelahan dan keistiqomahan kita menjadi investasi amal kita di akhirat kelak. Karena barang siapa yang menolong agama Allah, maka di yaumil akhir nanti Allah akan menolong dirinya. Bismillah, Amiiin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar