Terpaut lama wajahku di depan kotak kaca tak bersuara. Hanya
suara nasyid dan lagu milik Sammy berjudul “dia” yang sampai saat ini
terdengar. Entah apa yang ingin tertulis. Hanya saja, aku ingin segera memenuhi
satu tulisan ke blog baruku. Hahaha, alasan klasik.
Sebetulnya, banyak yang ingin ku tulis. Saking banyak, sampai
meluap, sampai lupa setiap kata yang mau ku tulisan. Hhh, hujan. Selalu ada
kisah di setiap rintiknya. Lebih tepatnya, ia pembawa bahagia.
Sudah lama tak menyaksikan hujan senikmat ini. Berada di
sebuah kedai kopi belakang Taman Makam Pahlawan (TMP) Malang yang posisisnya
tak jauh dari Mall MATOS. Dengan hanya di temani satu gelas kopi susu hangat
dan satu novel berjudul “Diorama” dalam genggaman. Seketika bau hujan
pun terasa, mencoba menikmati. Meneruskan bacaan yang mulai membuatku melayang
jauh. Ke suatu Negeri yang bernama imajinasi. Diorama sepasang Al-Banna, kisah
seorang ikhwan dan akhwat yang kepribadiannya sangat bertolak
belakang, namun mereka saling mengisi. Tentunya dengan cinta yang mereka
miliki. Fantastik.
Tak terasa lama juga aku berada disini, banyak pasang mata
yang melirikku sinis. Atau menggoda? Hm.. insting wanitaku menyala.
Panik.
“Ah… seandainya kau disini” Bisikku dalam hati,
untuk.. .. ? Untuk siapa aku tak tau.
Kalau saja tak mengingat tubuhku masih lemah, mungkin aku
sudah tancap gas pulang ke rumah dan tidur pulas di bawah selimut. Tapi aku
mulai sadar, tak ingin lagi hujan membuatku begini. Bukan, bukan salah hujan.
Dia terlalu lembut untuk disalahkan. Lebih tepatnya, aku sendiri yang banyak
tingkah. Memilih hujan-hujanan sepulang mengantar saudara pulang ke
‘singgasananya’.
“Yan, kau ingin tahu jawabanku? Demi Dakwah, nikahi dia!” Deg.
Sebuah kata yang seakan menohokku dari belakang. Sebuah kata, dimana aku mendapatkannya
dibuku yang sekarang dalam genggaman. Diorama.
“Demi dakwah? Menikah? Yang benar saja. Semudah itu. Bukan,
ini hanya fiksi.” Kututup “Diorama” yang mulai ‘menyebalkan’ untuk
caraku sendiri.
Pikiranku mulai berkelebat tak karuan. Teringat kembali wajah
seorang lelaki menari-nari dalam memori. Lelaki berkacamata dengan tangkai
berwarna putih. Mengalun lembut meminta jawaban. Entahlah, jawaban apa? Aku
saja tak tahu apa yang ingin aku jawab dari pertanyaan konyol yang selalu dia
ajukan beberapa waktu lalu. Sampai sekarang, aku tak melupakannya. Lebih
tepatnya, aku tak ingin melupakan.
Bagaimana bisa dia ‘memintaku’, sedangkan saat ini kita masih
sama-sama duduk di tingkat 3? Artinya, masih panjang waktuku untuk meneruskan
perkuliahan. Apalagi, zaman sudah menuntut untuk meneruskan ke strata yang
lebih tinggi. Ahh, kepalaku mulai pening.
Sebetulnya, tak ingin lebih lama menggantungkan perasaan
seperti ini. Toh, jika dibilang cinta, aku biasa saja. Cakep? Tidak juga. Tidak
seperti Mr. Akechi maksudnya (aduh kebawa novel lagi), berarti ia lelaki
yang cukup ganteng untuk ukuran wanita yang waras. Hanya saja, cara dia
beristiqomah atas apa yang dia yakini, itu yang membuatku salut. Tapi mau
gimana lagi, memangnya nikah cuma untuk menghasilkan anak? Enak saja, mau di
kasih apa dia nanti kalau ibu bapaknya masih belajar. Bukan materi sebetulnya,
tapi jauh lebih dari itu. Pendidikan.
Aku mulai berfikir, bagaimana seharusnya. Aku belum berani
berbicara pada siapapun, termasuk orang tuaku. Tapi tidak dengan Akmal,
sebagian besar keluarganya sudah tau. Ajaib. Begitulah enaknya kalau mempunyai
latar belakang keluarga dengan agama yang bagus, menurut mereka menyegerakan
menikah adalah hal yang cukup ahsan. Atau lebih tepatnya di anjurkan untuk
orang seukuran Akmal. Ya, meski dia satu tingkat denganku, tapi umurnya terpaut
3 tahun di atasku. Ada alasan tersendiri mengapa Akmal begitu. Mungkin semacam
pengabdian. Atau apalah itu. Tapi aku? Hanya menyimpan semuanya sendirian. Ya
Allah, aku menggantungkan semua rasa ini padaMu. .
Hingga hujan berganti rintik dan diselingi oleh kicauan
burung pipit yang mulai datang perlahan. Tiba-tiba, handphone berbunyi.
“Ada waktu?” Tanya seseorang di seberang yang sebelumnya
dengan salam.
“Untuk apa?” Jawabku sekenanya.
“Untuk kelanjutan urusan kita.”
Deg. Inilah saatnya aku bicara. “Oke.”
“Waktu dan tempat, aku kabari selanjutnya.
Wassalamu’alaikum.” Tuutts tuutts. .
Dan semuanya kembali hening.